BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hambatan resorbsi
cairan dari rongga pleura dapat terjadi oleh banyak hal diantaranya adanya
bendungan seperti pada dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor mediastinum,
ataupun akibat proses keradangan seperti tuberculosis dan pneumonia. Hambatan
reabsorbsi cairan tersebut mengakibatkan penumpukan cairan di rongga pleura
yang disebut efusi pleura. Efusi pleura tentu mengganggu fungsi pernapasan
sehingga perlu penatalaksanaan yang baik.
Pasien dengan efusi
pleura yang telah diberikan tata laksana baik diharapkan dapat sembuh dan pulih
kembali fungsi pernapasannya, namun karena efusi pleura sebagian besar
merupakan akibat dari penyakit lainnya yang menghambat reabsorbsi cairan dari
rongga pleura, maka pemulihannya menjadi lebih sulit. Karena hal tersebut, masih
banyak penderita dengan efusi pleura yang telah di tatalaksana namun tidak
menunjukkan hasil yang memuaskan.
Efusi pleura merupakan
manifestasi klinik yang dapat dijumpai pada sekitar 50-60% penderita keganasan
pleura primer. Sementara 95% kasus mesotelioma (keganasan pleura primer) dapat
disertai efusi pleura dan sekitar 50% penderita kanker payudara akhirnya akan
mengalami efusi pleura.
Kejadian efusi pleura
yang cukup tinggi apalagi pada penderita keganasan jika tidak ditatalaksana
dengan baik maka akan menurunkan kualitas hidup penderitanya dan semakin
memberatkan kondisi penderita. Paru-paru adalah bagian dari sistem pernapasan
yang sangat penting, gangguan pada organ ini seperti adanya efusi pleura dapat
menyebabkan gangguan pernapasan dan bahkan dapat mempengaruhi kerja sistem
kardiovaskuler yang dapat berakhir pada kematian. Perbaikan kondisi pasien
dengan efusi pleura memerlukan penatalaksanaan yang tepat oleh petugas
kesehatan termasuk perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan di rumah sakit.
Untuk itu maka perawat perlu mempelajari tentang konsep efusi pleura dan
penatalaksanaannya serta asuhan keperawatan pada pasien dengan efusi pleura.
Maka dalam makalah ini akan dibahas bagaimana asuhan keperawatan pada pasien
dengan efusi pleura.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
konsep penyakit efusi pleura ?
2. Bagaimanakah
proses asuhan keperawatan pada pasien dengan efusi pleura?
C.
Tujuan
1. Tujuan
Umum
Mengetahui bagaimana proses asuhan
keperawatan pada pasien dengan efusi pleura
2. Tujuan
Khusus
a. Mengidentifikasi
konsep efusi pleura meliputi definisi, etiologi, manifestasi klinis dan
patofisiologi
b. Mengidentifikasi
proses keperawatan pada efusi pleura meliputi pengkajian, analisa data dan
diagnosa, intervensi dan evaluasi
D.
Manfaat
1. Mahasiswa
memahami konsep dan proses keperawatan pada klien dengan gangguan efusi pleura
sehingga menunjang pembelajaran mata kuliah respirasi.
2. Mahasiswa
mengetahui proses keperawatan yang benar sehingga dapat menjadi bekal dalam
persiapan praktik di rumah sakit.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Efusi pleura adalah
penumpukan cairan di dalam ruang pleura, proses penyakit primer jarang terjadi
namun biasanya terjadi sekunder akibat penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan
jernih, yang mungkin merupakan transudat, eksudat, atau dapat berupa darah atau
pus (Baughman C Diane, 2000).
Efusi pleural adalah
pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara permukaan visceral
dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya merupakan
penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural
mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang
memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Smeltzer C
Suzanne, 2002).
Efusi pleura adalah
suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari dalam kavum pleura
diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa cairan transudat
atau cairan eksudat ( Pedoman Diagnosis dan Terapi / UPF ilmu penyakit paru,
1994, 111).
Efusi pleura adalah
istilah yang digunakan bagi penimbunan cairan dalam rongga pleura. (Price C
Sylvia, 1995)
B.
Anatomi
Paru-paru terletak pada
rongga dada. Masing-masing paru berbentuk kerucut. Paru kanan dibagi oleh dua
buah fisura kedalam tiga lobus atas, tengah dan bawah. Paru kiri dibagi oleh sebuah tisuda ke dalam
dua lobus atas dan bawah (John Gibson, MD, 1995, 121).
Permukaan datar paru
menghadap ke tengah rongga dada atau kavum mediastinum. Pada bagian tengah
terdapat tampuk paru-paru atau hillus paru-paru dibungkus oleh selaput yang
tipis disebut Pleura (Syaifudin B.AC , 1992, 104).
Pleura merupakan membran
tipis dan transparan yang menutupi paru dalam dua lapisan : Lapisan viseral,
yang dekat dengan permukaan paru dan lapisan parietal menutupi permukaan dalam
dari dinding dada. Kedua lapisan tersebut berlanjut pada radix paru. Rongga
pleura adalah ruang diantara kedua lapisan tersebut.
C.
Etiologi
Kelainan pada pleura hampir selalu
merupakan kelainan sekunder. Kelainan primer pada pleura hanya ada dua macam
yaitu infeksi kuman primer intrapleura dan tumor primer pleura.
Timbulnya efusi
pleura dapat disebabkan oleh kondisi-kondisi :
1. Hambatan
resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan seperti pada
dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor mediatinum, sindroma meig (tumor ovarium)
dan sindroma vena kava superior.
2. Peningkatan
produksi cairan berlebih, karena radang (tuberculosis, pneumonia, virus),
bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus ke rongga pleura, karena
tumor dimana masuk cairan berdarah dan karena trauma. Di Indonesia 80% karena
tuberculosis.
Secara
patologis, efusi pleura disebabkan oleh keadaan-keadaan :
1. Meningkatnya
tekanan hidrostatik (misalnya akibat gagal jantung)
2. Menurunnya
tekanan osmotic koloid plasma (misalnya hipoproteinemia)
3. Meningkatnya
permeabilitas kapiler (misalnya infeksi bakteri)
4. Berkurangnya
absorbsi limfatik
Berdasarkan jenis cairan yang terbentuk, cairan
pleura dibagi menjadi transudat, eksudat dan hemoragis
1. Transudat
misalnya terjadi pada kegagalan jantung kongestif (gagal jantung kiri) karena
bendungan vena disertai peningkatan tekanan hidrostatik, dan asitas (oleh sirosis
hepatic) karena tekanan osmotic koloid yang menurun. Selain itu, transudat
dapat disebabkan oleh tumor, sindroma meig. hipoproteinemia pada nefrotik
sindrom, obstruksi vena cava superior, pasca bedah abdomen, dialisis
peritoneal, dan atelektasis akut. Transudat
kadar proteinnya rendah sekali atau nihil sehingga berat jenisnya rendah.
2. Eksudat
dapat disebabkan antara lain oleh keganasan dan infeksi (pneumonia, TBC, virus,
jamur, parasit, dan abses) serta neoplasma (kanker paru-paru, metastasis,
limfoma, dan leukemia). Cairan keluar langsung dari kapiler sehingga kaya akan
protein dan berat jenisnya tinggi. Cairan ini juga mengandung banyak sel darah
putih.
3. Efusi hemoragis dapat disebabkan oleh adanya
tumor, trauma, infark paru, radiasi, kolagen.
D.
Patofisiologi
Didalam rongga pleura terdapat + 5ml cairan yang
cukup untuk membasahi seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis.
Cairan ini dihasilkan oleh kapiler pleura parietalis karena adanya tekanan
hodrostatik, tekanan koloid dan daya tarik elastis. Sebagian cairan ini diserap
kembali oleh kapiler paru dan pleura viseralis, sebagian kecil lainnya (10-20%)
mengalir kedalam pembuluh limfe sehingga pasase cairan disini mencapai 1 liter
seharinya.
Terkumpulnya cairan di rongga pleura disebut efusi pleura,
ini terjadi bila keseimbangan antara produksi dan absorbsi terganggu misalnya
pada hyperemia akibat inflamasi, perubahan tekanan osmotic (hipoalbuminemia),
peningkatan tekanan vena (gagal jantung).
Dalam keadaan normal
hanya terdapat 10-20 ml cairan di dalam rongga pleura. Jumlah cairan di rongga
pleura tetap karena adanya tekanan hidrostatis pleura parietalis sebesar 9 cm H2O.
Akumulasi cairan pleura dapat terjadi apabila tekanan osmotik koloid menurun
misalnya pada penderita hipoalbuminemia dan bertambahnya permeabilitas kapiler
akibat ada proses keradangan atau neoplasma, bertambahnya tekanan hidrostatis
akibat kegagalan jantung dan tekanan negatif intrapleura apabila terjadi
atelektasis paru (Alsagaf H, Mukti A, 1995, 145).
Efusi pleura berarti
terjadi pengumpulan sejumlah besar cairan bebas dalam kavum pleura. Penyebab
efusi antara lain :
1.
Penghambatan drainase limfatik dari
rongga pleura
2.
Gagal jantung yang menyebabkan tekanan
kapiler paru dan tekanan perifer menjadi sangat tinggi sehingga menimbulkan
transudasi cairan yang berlebihan ke dalam rongga pleura
3.
Sangat menurunnya tekanan osmotik kolora
plasma, jadi juga memungkinkan transudasi cairan yang berlebihan
4.
Infeksi atau setiap penyebab peradangan
apapun pada permukaan pleura dari rongga pleura, yang memecahkan membran
kapiler dan memungkinkan pengaliran protein plasma dan cairan ke dalam rongga
secara cepat (Guyton dan Hall , Egc, 1997, 623-624).
Pasien dengan pleura
yang awalnya normal pun dapat mengalami efusi pleura ketika terjadi payah/gagal
jantung kongestif. Ketika jantung tidak dapat memompakan darahnya secara
maksimal ke seluruh tubuh terjadilah peningkatan tekanan hidrostatik pada
kapiler yang selanjutnya menyebabkan hipertensi kapiler sistemik. Cairan yang
berada dalam pembuluh darah pada area tersebut selanjutnya menjadi bocor dan
masuk ke dalam pleura. Peningkatan pembentukan cairan dari pleura parietalis
karena hipertensi kapiler sistemik dan penurunan reabsorbsi menyebabkan
pengumpulan abnormal cairan pleura.
Adanya hipoalbuminemia
juga akan mengakibatkan terjadinya efusi pleura. Peningkatan pembentukan cairan
pleura dan berkurangnya reabsorbsi. Hal tersebut berdasarkan adanya penurunan
pada tekanan onkotik intravaskuler (tekanan osmotic yang dilakukan oleh
protein).
Luas efusi pleura yang
mengancam volume paru-paru, sebagian akan tergantung atas kekuatan relatif
paru-paru dan dinding dada. Dalam batas pernapasan normal, dinding dada
cenderung rekoil ke luar sementara paru-paru cenderung untuk rekoil ke dalam
(paru-paru tidak dapat berkembang secara maksimal melainkan cenderung untuk
mengempis).
E.
Manifestasi
Klinis
Biasanya manifestasi
klinisnya adalah yang disebabkan penyakit dasar. Pneumonia akan menyebabkan
demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis, sementara efusi malignan dapat
mengakibatkan dipsnea dan batuk. Ukuran efusi akan menentukan keparahan gejala.
Efusi pleura yang luas akan menyebabkan sesak nafas. Area yang mengandung
cairan atau menunjukkan bunyi napas minimal atau tidak sama sekali menghasilkan
bunyi datar, pekak saat diperkusi. Egofoni akan terdengar di atas area efusi.
Deviasi trakea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika penumpukan cairan
pleural yang signifikan. Bila terjadi efusi pleural kecil sampai sedang, dipsnea
mungkin saja tidak terdapat.
Gejala :
1. Adanya
timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan, setelah cairan cukup
banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas.
2. Adanya
gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada
pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak
keringat, batuk, banyak riak.
3. Deviasi
trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan
cairan pleural yang signifikan.
4. Pemeriksaan
fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan akan
berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan,
fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam
keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis
Damoiseu).
5. Didapati
segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas
garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan
mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler
melemah dengan ronki.
6. Pada
permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura. Keberadaan cairan
dikuatkan dengan rontgen dada, ultrasound, pemeriksaan fisik, dan
torakosentesis. Cairan pleural dianalisis dengan kultur bakteri, pewarnaan
Gram, basil tahan asam (untuk tuberkulosis), hitung sel darah merah dan putih,
pemeriksaan kimiawi (glukosa, amylase, laktat dehidrogenase, protein),
analisis sitologi untuk sel-sel malignan, dan pH. Biopsi pleura mungkin juga
dilakukan.
F.
Dampak Masalah
1.
Dampak masalah terhadap individu
Sebagaimana penderita
penyakit yang lain, pada pasien efusi pleura akan mengalami suatu perubahan
baik biologi, psikososial dan spiritual yang akan selalu menimbulkan dampak
yang diakibatkan oleh proses penyakit atau pengobatan dan perawatan. Pada
umumnya pemeriksaan pasien dengan efusi pleura akan tampak sakit, suara nafas menurun
adanya nyeri pleuritik terutama pada akhir inspirasi, febris, batuk dan yang
lebih khas lagi adalah adanya sesak nafas, rasa berat pada dada akibat adnya
akumulasi cairan di kavum pleura.
2.
Dampak masalah terhadap keluarga
Pada umumnya keluarga
pasien akan merasa dituntut untuk selalu menjaga dan memenuhi kebutuhan pasien.
Apabila ada salah satu anggota keluarga yang sakit sehingga keluarga pasien
akan memberi perhatian yang lebih pada pasien. Keluarga menjadi cemas dengan
keadaan pasien karena mungkin sebagai orang awam keluarga pasien kurang
mengerti dengan kondisi pasien dan tentang bagaimana perawatannya. Lamanya
perawatan pasien banyaknya biaya pengobatan merupakan masalah bagi pasien dan
keluarganya terlebih untuk keluarga dengan tingkat ekonomi yang rendah.
G.
Penatalaksanaan
Tujuan
pengobatan adalah untuk menemukan penyebab dasar, untuk mencegah penumpukan
kembali cairan, dan untuk menghilangkan ketidaknyamanan serta dipsnea.
Pengobatan spesifik ditujukan pada penyebab dasar (misal gagal jantung
kongestif, pneumonia, serosis)
Torakosintesis
dilakukan untuk membuang cairan, untuk mendapatkan specimen guna keperluan
analisis, dan untuk menghilangkan dipsnea. Namun bila penyebab dasar adalah
malignansi, efusi dapat terjadi kembali dalam beberapa hari atau minggu.
Torasentesis berulang menyebabkan nyeri, penipisan protein dan elektrolit, dan
kadang pneumotoraks. Dalam keadaan ini pasien mungkin diatasi dengan pemasangan
selang dada dengan drainase yang dihubungkan ke system drainase water-seal
atau pengisapan untuk mengevaluasi ruang pleura dan pengembangan paru.
Agens
yang secara kimiawi mengiritasi, seperti tetrasiklin, dimasukkan ke dalam ruang
pleura untuk mengobliterasi ruang pleural dan mencegah akumulasi cairan lebih
lanjut. Setelah agens dimasukkan, selang dada diklem dan pasien dibantu untuk
mengambil berbagai posisi untuk memastikan penyebaran agens secara merata dan
untuk memaksimalkan kontak agens dengan permukaan pleural. Selang dilepaskan
klemnya sesuai yang diresepkan, dan drainase dada biasanya diteruskan beberapa
hari lebih lama untuk mencegah reakumulasi cairan dan untuk meningkatkan
pembentukan adhesi antara pleural viseralis dan parietalis.
Modalitas
penyakit lainnya untuk efusi pleura malignan termasuk radiasi dinding dada,
bedah pleurektomi, dan terapi diuretic. Jika cairan pleura merupakan eksudat,
posedur diagnostic yang lebih jauh dilakukan untuk menetukan penyebabnya.
Pengobatan untuk penyebab primer kemudian dilakukan.
H.
Water
Seal Drainase (WSD)
1.
Pengertian
WSD
adalah suatu unit yang bekerja sebagai drain untuk mengeluarkan udara dan
cairan melalui selang dada.
2.
Indikasi
a.
Pneumothoraks karena rupture bleb, luka
tusuk tembus
b.
Hemothoraks karena robekan pleura, kelebihan
anti koagulan, pasca bedah toraks
c.
Torakotomi
d.
Efusi pleura
e.
Empiema karena penyakit paru serius dan
kondisi inflamasi
3.
Tujuan Pemasangan
a.
Untuk mengeluarkan udara, cairan atau
darah dari rongga pleura
b.
Untuk mengembalikan tekanan negative
pada rongga pleura
c.
Untuk mengembangkan kembali paru yang
kolap dan kolap sebagian
d.
Untuk mencegah reflux drainase kembali
ke dalam rongga dada.
4.
Tempat pemasangan
A.
Apikal
a.
Letak selang pada interkosta III mid
klavikula
b.
Dimasukkan secara antero lateral
c.
Fungsi untuk mengeluarkan udara dari
rongga pleura
B.
Basal
a.
Letak selang pada interkostal V-VI atau
interkostal VIII-IX mid aksiller
b.
Fungsi : untuk mengeluarkan cairan dari
rongga pleura
5.
Jenis WSD
·
Sistem satu botol
Sistem
drainase ini paling sederhana dan sering digunakan pada pasien dengan simple
pneumotoraks
·
Sistem dua botol
Pada
system ini, botol pertama mengumpulkan cairan/drainase dan botol kedua adalah
botol water seal.
·
System tiga botol
Sistem
tiga botol, botol penghisap control ditambahkan ke system dua botol. System
tiga botol ini paling aman untuk mengatur jumlah penghisapan.
I.
ASUHAN
KEPERAWATAN
Pemberian
Asuhan Keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan
kerjasama dengan klien, keluarga atau masyarakat untuk mencapai tingkat
kesehatan yang optimal (Canpernito, 2000,2).
Perawat
memerlukan metode ilmiah dalam melakukan proses terapeutik tersebut yaitu
proses keperawatan. Proses keperewatan dipakai untuk membantu perawat dalam
melakukan praktek keperawatan secara sistematis dalam mengatasi masalah
keperawatan yang ada, dimana keempat komponennya saling mempengaruhi satu sama
lain yaitu : pengkajian, intervensi, implementasi dan evaluasi yang membentuk
suatu mata rantai (Budianna Keliat, 1994,2).
1.
Pengkajian
Data-data yang dikumpulkan
atau dikaji meliputi :
a.
Identitas Pasien
Pada tahap ini perawat
perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama atau
kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan
pasien.
b.
Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan
faktor utama yang mendorong pasien mencari pertolongan atau berobat ke rumah
sakit. Biasanya pada pasien dengan efusi pleura didapatkan keluhan berupa sesak
nafas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritik akibat iritasi pleura yang
bersifat tajam dan terlokasilir terutama pada saat batuk dan bernafas serta
batuk non produktif.
c.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan efusi pleura
biasanya akan diawali dengan adanya tanda-tanda seperti batuk, sesak nafas,
nyeri pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan menurun dan sebagainya.
Perlu juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu muncul. Apa tindakan yang telah
dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan keluhan-keluhannya tersebut.
d.
Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah
pasien pernah menderita penyakit seperti TBC paru, pneumoni, gagal jantung,
trauma, asites dan sebagainya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan
adanya faktor predisposisi.
e.
Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah
ada anggota keluarga yang menderita penyakit-penyakit yang disinyalir sebagai
penyebab effusi pleura seperti Ca paru, asma, TB paru dan lain sebagainya.
f.
Riwayat Psikososial
Meliputi perasaan pasien
terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta bagaimana perilaku
pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya.
g.
Pengkajian Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1)
Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Adanya
tindakan medis dan perawatan di rumah sakit mempengaruhi perubahan persepsi
tentang kesehatan, tapi kadang juga memunculkan persepsi yang salah terhadap
pemeliharaan kesehatan. Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan merokok, minum
alkohol dan penggunaan obat-obatan bisa menjadi faktor predisposisi timbulnya
penyakit.
2)
Pola nutrisi dan metabolisme
Dalam
pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu melakukan pengukuran tinggi
badan dan berat badan untuk mengetahui status nutrisi pasien, selain juga perlu
ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama MRS pasien dengan
effusi pleura akan mengalami penurunan nafsu makan akibat dari sesak nafas dan
penekanan pada struktur abdomen. Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat
proses penyakit. pasien dengan effusi pleura keadaan umumnya lemah.
3)
Pola eliminasi
Dalam
pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan ilusi dan
defekasi sebelumdan sesudah MRS. Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien
akan lebih banyak bed rest sehingga akan menimbulkan konstipasi, selain akibat
pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan penurunan peristaltik otot-otot
tractus degestivus.
4)
Pola aktivitas dan latihan
Akibat sesak
nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi dan Px akan cepat
mengalami kelelahan pada aktivitas minimal. Disamping itu pasien juga akan
mengurangi aktivitasnya akibat adanya nyeri dada. Dan untuk memenuhi kebutuhan
ADL nya sebagian kebutuhan pasien dibantu oleh perawat dan keluarganya.
5)
Pola tidur dan istirahat
Adanya nyeri
dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan berpengaruh terhadap
pemenuhan kebutuhan tidur dan istitahat, selain itu akibat perubahan kondisi
lingkungan dari lingkungan rumah yang tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana
banyak orang yang mondar-mandir, berisik dan lain sebagainya.
6)
Pola hubungan dan peran
Akibat dari
sakitnya, secara langsung pasien akan mengalami perubahan peran, misalkan pasien
seorang ibu rumah tangga, pasien tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai
seorang ibu yang harus mengasuh anaknya, mengurus suaminya. Disamping itu,
peran pasien di masyarakatpun juga mengalami perubahan dan semua itu
mempengaruhi hubungan interpersonal pasien.
7)
Pola persepsi dan konsep diri
Persepsi
pasien terhadap dirinya akan berubah. Pasien yang tadinya sehat, tiba-tiba
mengalami sakit, sesak nafas, nyeri dada. Sebagai seorang awam, pasien mungkin
akan beranggapan bahwa penyakitnya adalah penyakit berbahaya dan mematikan.
Dalam hal ini pasien mungkin akan kehilangan gambaran positif terhadap dirinya.
8)
Pola sensori dan kognitif
Fungsi panca
indera pasien tidak mengalami perubahan, demikian juga dengan proses
berpikirnya.
9)
Pola reproduksi seksual
Kebutuhan
seksual pasien dalam hal ini hubungan seks intercourse akan terganggu untuk
sementara waktu karena pasien berada di rumah sakit dan kondisi fisiknya masih
lemah.
10)
Pola penanggulangan stress
Bagi pasien
yang belum mengetahui proses penyakitnya akan mengalami stress dan mungkin
pasien akan banyak bertanya pada perawat dan dokter yang merawatnya atau orang
yang mungkin dianggap lebih tahu mengenai penyakitnya.
11)
Pola tata nilai dan kepercayaan
Sebagai
seorang beragama pasien akan lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan dan
menganggap bahwa penyakitnya ini adalah suatu cobaan dari Tuhan.
h.
Pemeriksaan Fisik
1)
Status Kesehatan Umum
Tingkat
kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien secara umum,
ekspresi wajah pasien selama dilakukan anamnesa, sikap dan perilaku pasien
terhadap petugas, bagaimana mood pasien untuk mengetahui tingkat kecemasan dan
ketegangan pasien. Perlu juga dilakukan pengukuran tinggi badan berat badan
pasien.
2)
Sistem Respirasi
Inspeksi
pada pasien effusi pleura bentuk hemithorax yang sakit mencembung, iga
mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan pernafasan menurun. Pendorongan
mediastinum ke arah hemithorax kontra lateral yang diketahui dari posisi
trakhea dan ictus kordis. RR cenderung meningkat dan Px biasanya dyspneu.
Fremitus
tokal menurun terutama untuk effusi pleura yang jumlah cairannya > 250 cc.
Disamping itu pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang
tertinggal pada dada yang sakit.
Suara
perkusi redup sampai peka tegantung jumlah cairannya. Bila cairannya tidak
mengisi penuh rongga pleura, maka akan terdapat batas atas cairan berupa garis
lengkung dengan ujung lateral atas ke medical penderita dalam posisi duduk.
Garis ini disebut garis Ellis-Damoisseaux. Garis ini paling jelas di bagian
depan dada, kurang jelas di punggung.
Auskultasi
Suara nafas menurun sampai menghilang. Pada posisi duduk cairan makin ke atas
makin tipis, dan dibaliknya ada kompresi atelektasis dari parenkian paru,
mungkin saja akan ditemukan tanda-tanda auskultasi dari atelektasis kompresi di
sekitar batas atas cairan. Ditambah lagi dengan tanda i – e artinya bila penderita
diminta mengucapkan kata-kata i maka
akan terdengar suara e sengau, yang disebut egofoni (Alsagaf H, Ida Bagus,
Widjaya Adjis, Mukty Abdol, 1994,79)
3)
Sistem Cardiovasculer
Pada
inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal berada pada ICS – 5 pada
linea medio claviculaus kiri selebar 1 cm. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mengetahui ada tidaknya pembesaran jantung. Palpasi untuk menghitung frekuensi
jantung (health rate) dan harus diperhatikan kedalaman dan teratur tidaknya
denyut jantung, perlu juga memeriksa adanya thrill yaitu getaran ictus cordis.
Perkusi untuk menentukan batas jantung dimana daerah jantung terdengar pekak.
Hal ini bertujuan untuk menentukan adakah pembesaran jantung atau ventrikel
kiri. Auskultasi untuk menentukan suara jantung I dan II tunggal atau gallop
dan adakah bunyi jantung III yang merupakan gejala payah jantung serta adakah
murmur yang menunjukkan adanya peningkatan arus turbulensi darah.
4)
Sistem Pencernaan
Pada
inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit atau datar, tepi perut
menonjol atau tidak, umbilicus menonjol atau tidak, selain itu juga perlu di
inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa.
Auskultasi
untuk mendengarkan suara peristaltik usus dimana nilai normalnya 5-35 kali
permenit. Pada palpasi perlu juga diperhatikan, adakah nyeri tekan abdomen,
adakah massa (tumor, feces), turgor kulit perut untuk mengetahui derajat
hidrasi pasien, apakah hepar teraba, juga apakah lien teraba. Perkusi abdomen
normal tympanik, adanya massa padat atau cairan akan menimbulkan suara pekak
(hepar, asites, vesika urinarta, tumor).
5)
Sistem Neurologis
Pada
inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji Disamping juga diperlukan pemeriksaan
GCS. Adakah composmentis atau somnolen atau comma. refleks patologis, dan
bagaimana dengan refleks fisiologisnya. Selain itu fungsi-fungsi sensoris juga
perlu dikaji seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan.
6)
Sistem Muskuloskeletal
Pada
inspeksi perlu diperhatikan adakah edema peritibial, palpasi pada kedua
ekstremetas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer serta dengan pemerikasaan
capillary refil time. Dengan inspeksi dan palpasi dilakukan pemeriksaan
kekuatan otot kemudian dibandingkan antara kiri dan kanan.
7)
Sistem Integumen
Inspeksi
mengenai keadaan umum kulit higiene, warna ada tidaknya lesi pada kulit, pada
pemeriksaan dengan efusi biasanya akan tampak cyanosis akibat adanya kegagalan
sistem transport O2. Pada palpasi perlu diperiksa mengenai
kehangatan kulit (dingin, hangat, demam). Kemudian texture kulit
(halus-lunak-kasar) serta turgor kulit untuk mengetahui derajat hidrasi
seseorang.
i.
Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan medis
dan laboratorium :
1.
Pemeriksaan Radiologi
Pada
fluoroskopi maupun foto thorax PA cairan yang kurang dari 300 cc tidak bisa
terlihat. Mungkin kelainan yang tampak hanya berupa penumpukkan kostofrenikus.
Pada effusi pleura sub pulmonal, meski cairan pleura lebih dari 300 cc,
frenicocostalis tampak tumpul, diafragma
kelihatan meninggi. Untuk memastikan dilakukan dengan foto thorax lateral dari
sisi yang sakit (lateral dekubitus) ini akan memberikan hasil yang memuaskan
bila cairan pleura sedikit (Hood Alsagaff, 1990, 786-787).
Permukaan
cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk bayangan seperti kurva,
dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi daripada bagian medial. Bila
permukaannya horisontal dari lateral ke medial, pasti terdapat udara dalam
rongga tersebut yang dapat berasal dari luar atau dari dalam paru-paru sendiri.
Kadang-kadang sulit membedakan antara bayangan cairan bebas dalam pleura dengan
adhesi karena radang (pleuritis). Disini perlu pemeriksaan foto dada dengan
posisi lateral dekubitus.
2.
Biopsi Pleura
Biopsi ini
berguna untuk mengambil specimen jaringan pleura dengan melalui biopsi jalur
percutaneus. Biopsi ini digunakan untuk mengetahui adanya sel-sel ganas atau
kuman-kuman penyakit (biasanya kasus pleurisy tuberculosa dan tumor
pleura) (Soeparman, 1990, 788).
3.
CT – SCAN
Pada kasus
kanker paru CT Scan bermanfaat untuk mendeteksi adanya tumor paru juga
sekaligus digunakan dalam penentuan staging klinik yang meliputi :
a.
Menentukan adanya tumor dan ukurannya
b.
Mendeteksi adanya invasi tumor ke
dinding thorax, bronkus, mediatinum dan pembuluh darah besar
c.
Mendeteksi adanya efusi pleura
Disamping
diagnosa kanker paru, CT Scan juga dapat digunakan untuk menuntun tindakan
trans thoracal needle aspiration (TTNA), evaluasi pengobatan, mendeteksi
kekambuhan dan CT planing radiasi.
4.
Torakosentesis / fungsi pleura untuk
mengetahui kejernihan, warna, biakan tampilan, sitologi, berat jenis. fungsi
pleura diantara linea aksilaris anterior dan posterior, pada sela iga ke-8.
Didapati cairan yang mungkin serosa (serotorak), berdarah (hemotoraks), pus
(piotoraks) atau kilus (kilotoraks). Bila cairan serosa mungkin berupa
transudat (hasil bendungan) atau eksudat (hasil radang).
5.
Pemeriksaan Laboratorium
Cairan
pleural dianalisis dengan kultur bakteri, pewarnaan gram, basil tahan asam
(untuk TBC), hitung sel darah merah dan putih, pemeriksaan kimiawi (glukosa,
amylase, laktat dehidrogenase (LDH), protein), analisis sitologi untuk sel-sel
malignan, dan pH.
Dalam
pemeriksaan cairan pleura terdapat beberapa pemeriksaan antara lain :
a.
Pemeriksaan Biokimia
Secara
biokimia, effusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat yang perbedaannya
dapat dilihat pada tabel berikut :
Transudat Eksudat
Kadar protein dalam effusi
9/dl < 3 >
3
Kadar protein dalam effusi
< 0,5 >
0,5
Kadar protein dalam serum
Kadar LDH dalam effusi
(1-U) < 200 >
200
Kadar LDH dalam effusi < 0,6 >
0,6
Kadar LDH dalam serum
Berat jenis cairan effusi < 1,016 >
1,016
Rivalta Negatif Positif
Perbedaan
cairan transudat dan eksudat (Somantri, 2008: 99)
Indikator
|
Transudat
|
Eksudat
|
1.
Warna
2.
Bekuan
3.
Berat Jenis
4.
Leukosit
5.
Eritrosit
6.
Hitung jenis
7.
Protein Total
8.
LDH
9.
Glukosa
10. Fibrinogen
11. Amilase
12. Bakteri
|
10.
0,3-4%
11.
(-)
12.
(-)
|
|
Disamping pemeriksaan
tersebut diatas, secara biokimia diperiksakan juga cairan pleura :
1.
Kadar pH dan glukosa. Biasanya merendah pada penyakit-penyakit infeksi,
arthritis reumatoid dan neoplasma
2.
Kadar amilase. Biasanya meningkat pada paulercatilis dan metastasis
adenocarcinona (Soeparman, 1990, 787).
b.
Analisa cairan pleura
-
Transudat : jernih,
kekuningan
-
Eksudat : kuning,
kuning-kehijauan
-
Hilothorax : putih
seperti susu
-
Empiema : kental
dan keruh
-
Empiema anaerob : berbau busuk
-
Mesotelioma : sangat
kental dan berdarah
c.
Perhitungan sel dan sitologi
Leukosit 25.000 (mm3)
: empiema
Banyak Netrofil : pneumonia,
infark paru, pankreatilis, TB paru
Banyak Limfosit : tuberculosis, limfoma, keganasan.
Eosinofil meningkat :emboli paru, poliatritis nodosa,
parasit dan jamur
Eritrosit : mengalami
peningkatan 1000-10000/ mm3 cairan tampak kemorogis, sering dijumpai
pada pankreatitis atau pneumoni. Bila erytrosit > 100000 (mm3
menunjukkan infark paru, trauma dada dan keganasan.
Misotel banyak : Jika
terdapat mesotel kecurigaan TB bisa disingkirkan.
Sitologi : Hanya 50 - 60 %
kasus- kasus keganasan dapat ditemukan sel ganas. Sisanya kurang lebih
terdeteksi karena akumulasi cairan pleura lewat mekanisme obstruksi,
preamonitas atau atelektasis (Alsagaff Hood, 1995 : 147,148)
d.
Bakteriologis
Jenis kuman
yang sering ditemukan dalam cairan pleura adalah pneamo cocclis, E-coli,
klebsiecla, pseudomonas, enterobacter. Pada pleuritis TB kultur cairan terhadap
kuman tahan asam hanya dapat menunjukkan yang positif sampai 20 % (Soeparman,
1998: 788).
j.
Analisa Data
Setelah
semua data dikumpulkan, kemudian dikelompokkan dan dianalisa sehingga dapat
ditemukan adanya masalah yang muncul pada penderita efusi pleura. Selanjutnya
masalah tersebut dirumuskan dalam diagnosa keperawatan.
2.
Diagnosa Keperawatan
Penentuan diagnosa
keperawatan harus berdasarkan analisa data sari hasil pengkajian, maka diagnosa
keperawatan yang ditemukan di kelompokkan menjadi diagnosa aktual, potensial
dan kemungkinan. (Budianna Keliat, 1994,1)
Beberapa diagnosa
keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan effusi pleura antara lain :
1.
Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi
paru sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam rongga pleura (Susan Martin
Tucleer, dkk, 1998).
2.
Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Sehubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh, pencernaan nafsu makan akibat
sesak nafas sekunder terhadap penekanan struktur abdomen (Barbara Engram,
1993).
3.
Cemas sehubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan
(ketidakmampuan untuk bernafas).
4.
Gangguan pola tidur dan istirahat sehubungan dengan batuk yang menetap
dan sesak nafas serta perubahan suasana lingkungan Barbara Engram).
5.
Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari sehubungan dengan
keletihan (keadaan fisik yang lemah)
(Susan Martin Tucleer, dkk, 1998).
6.
Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan sehubungan dengan
kurang terpajang informasi (Barbara
Engram, 1993)
3.
Perencanaan
Setelah merumuskan
diagnosa keperawatan, dibuat rencana tindakan untuk mengurangi, menghilangkan
dan mencegah masalah klien.(Budianna Keliat, 1994, 16)
1.
Diagnosa Keperawatan I : Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan
dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam
rongga pleura.
Tujuan : Pasien mampu
mempertahankan fungsi paru secara normal
Kriteria hasil : Irama,
frekuensi dan kedalaman pernafasan dalam batas normal, pada pemeriksaan sinar X
dada tidak ditemukan adanya akumulasi cairan, bunyi nafas terdengar jelas.
Rencana tindakan :
a.
Identifikasi faktor penyebab.
Rasional : Dengan
mengidentifikasikan penyebab, kita dapat menentukan jenis effusi pleura
sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat.
b.
Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, laporkan setiap
perubahan yang terjadi.
Rasional : Dengan mengkaji
kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, kita dapat mengetahui sejauh mana
perubahan kondisi pasien.
c.
Baringkan pasien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk, dengan
kepala tempat tidur ditinggikan 60 – 90 derajat.
Rasional : Penurunan
diafragma memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa maksimal.
d.
Observasi tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah, RR dan respon
pasien).
Rasional : Peningkatan RR
dan tachcardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru.
e.
Lakukan auskultasi suara nafas tiap 2-4 jam.
Rasional : Auskultasi
dapat menentukan kelainan suara nafas pada bagian paru-paru.
f.
Bantu dan ajarkan pasien untuk batuk dan nafas dalam yang efektif.
Rasional : Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau
nafas dalam. Penekanan otot-otot dada serta abdomen membuat batuk lebih
efektif.
g.
Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2 dan
obat-obatan serta foto thorax.
Rasional : Pemberian
oksigen dapat menurunkan beban pernafasan dan mencegah terjadinya sianosis
akibat hiponia. Dengan foto thorax dapat dimonitor kemajuan dari berkurangnya
cairan dan kembalinya daya kembang paru.
2.
Diagnosa Keperawatan II : Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh, penurunan
nafsu makan akibat sesak nafas.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi
terpenuhi
Kriteria hasil : Konsumsi lebih 40 % jumlah makanan, berat badan normal dan
hasil laboratorium dalam batas normal.
Rencana tindakan :
a.
Beri motivasi tentang pentingnya nutrisi.
Rasional : Kebiasaan makan
seseorang dipengaruhi oleh kesukaannya, kebiasaannya, agama, ekonomi dan
pengetahuannya tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh.
b.
Auskultasi suara bising usus.
Rasional : Bising usus
yang menurun atau meningkat menunjukkan adanya gangguan pada fungsi pencernaan.
c.
Lakukan oral hygiene setiap hari.
Rasional : Bau mulut yang
kurang sedap dapat mengurangi nafsu makan.
d.
Sajikan makanan semenarik mungkin.
Rasional : Penyajian makanan yang menarik dapat
meningkatkan nafsu makan.
e.
Beri makanan dalam porsi kecil tapi sering.
Rasional : Makanan dalam
porsi kecil tidak membutuhkan energi, banyak selingan memudahkan reflek.
f.
Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian di’it TKTP
Rasional : Di’it TKTP sangat baik untuk kebutuhan
metabolisme dan pembentukan antibody karena diet TKTP menyediakan kalori dan semua asam amino esensial.
g.
Kolaborasi dengan dokter atau konsultasi untuk melakukan pemeriksaan laboratorium
alabumin dan pemberian vitamin dan suplemen nutrisi lainnya (zevity, ensure,
socal, putmocare) jika intake diet terus menurun lebih 30 % dari kebutuhan.
Rasional : Peningkatan
intake protein, vitamin dan mineral dapat menambah asam lemak dalam tubuh.
3.
Diagnosa Keperawatan III : Cemas atau ketakutan sehubungan dengan adanya
ancaman kematian yang dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernafas).
Tujuan : Pasien
mampu memahami dan menerima keadaannya sehingga tidak terjadi kecemasan.
Kriteria hasil : Pasien
mampu bernafas secara normal, pasien mampu beradaptasi dengan keadaannya.
Respon non verbal klien tampak lebih rileks dan santai, nafas teratur dengan
frekuensi 16-24 kali permenit, nadi 80-90 kali permenit.
Rencana tindakan :
a.
Berikan posisi yang menyenangkan bagi pasien. Biasanya dengan semi
fowler.
b.
Jelaskan mengenai penyakit dan diagnosanya.
Rasional : pasien mampu
menerima keadaan dan mengerti sehingga dapat diajak kerjasama dalam perawatan.
Ajarkan teknik relaksasi
Rasional : Mengurangi ketegangan otot
dan kecemasan
c.
Bantu dalam menggala sumber koping yang ada.
Rasional : Pemanfaatan
sumber koping yang ada secara konstruktif sangat bermanfaat dalam mengatasi
stress.
d.
Pertahankan hubungan saling percaya antara perawat dan pasien. Rasional :
Hubungan saling percaya membantu proses terapeutik
e.
Kaji faktor yang menyebabkan timbulnya rasa cemas.
Rasional : Tindakan yang
tepat diperlukan dalam mengatasi masalah yang dihadapi klien dan membangun
kepercayaan dalam mengurangi kecemasan.
f.
Bantu pasien mengenali dan mengakui rasa cemasnya.
Rasional : Rasa cemas
merupakan efek emosi sehingga apabila sudah teridentifikasi dengan baik,
perasaan yang mengganggu dapat diketahui.
4.
Diagnosa Keperawatan IV : Gangguan pola tidur dan istirahat sehubungan
dengan batuk yang menetap dan nyeri pleuritik.
Tujuan : Tidak
terjadi gangguan pola tidur dan kebutuhan istirahat terpenuhi.
Kriteria hasil : Pasien tidak sesak nafas, pasien dapat
tidur dengan nyaman tanpa mengalami gangguan, pasien dapat tertidur dengan
mudah dalam waktu 30-40 menit dan pasien beristirahat atau tidur dalam waktu
3-8 jam per hari.
Rencana tindakan :
a.
Beri posisi senyaman mungkin bagi pasien.
Rasional : Posisi semi
fowler atau posisi yang menyenangkan akan memperlancar peredaran O2
dan CO2.
b.
Tentukan kebiasaan motivasi sebelum tidur malam sesuai dengan kebiasaan
pasien sebelum dirawat.
Rasional : Mengubah pola
yang sudah menjadi kebiasaan sebelum tidur akan mengganggu proses tidur.
c.
Anjurkan pasien untuk latihan relaksasi sebelum tidur.
Rasional : Relaksasi dapat
membantu mengatasi gangguan tidur.
d.
Observasi gejala kardinal dan keadaan umum pasien.
Rasional : Observasi
gejala kardinal guna mengetahui perubahan terhadap kondisi pasien.
5.
Diagnosa Keperawatan V : Ketidakmampuan melaksanakan aktivitas
sehari-hari sehubungan dengan keletihan (keadaan fisik yang lemah).
Tujuan : Pasien
mampu melaksanakan aktivitas seoptimal mungkin.
Kriteria hasil : Terpenuhinya
aktivitas secara optimal, pasien kelihatan segar dan bersemangat, personel
hygiene pasien cukup.
Rencana tindakan :
a.
Evaluasi respon pasien saat beraktivitas, catat keluhan dan tingkat
aktivitas serta adanya perubahan tanda-tanda vital.
Rasional : Mengetahui
sejauh mana kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas.
b.
Bantu Px memenuhi kebutuhannya.
Rasional : Memacu pasien
untuk berlatih secara aktif dan mandiri.
c.
Awasi Px saat melakukan aktivitas.
Rasional
: Memberi pendidikan pada Px dan keluarga dalam perawatan selanjutnya.
d.
Libatkan keluarga dalam perawatan pasien.
Rasional
: Kelemahan suatu tanda Px belum mampu beraktivitas secara penuh.
e.
Jelaskan pada pasien tentang perlunya keseimbangan antara aktivitas dan
istirahat.
Rasional : Istirahat perlu
untuk menurunkan kebutuhan metabolisme.
f.
Motivasi dan awasi pasien untuk melakukan aktivitas secara bertahap.
Rasional : Aktivitas yang
teratur dan bertahap akan membantu mengembalikan pasien pada kondisi normal.
6.
Diagnosa Keperawatan VI : Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan
pengobatan sehubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan : Pasien dan keluarga tahu mengenai kondisi
dan aturan pengobatan.
Kriteria hasil :
a.
Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman penyebab masalah.
b.
Pasien dan keluarga mampu mengidentifikasi tanda dan gejala yang
memerlukan evaluasi medik.
c.
Pasien dan keluarga mengikuti program pengobatan dan menunjukkan
perubahan pola hidup yang perlu untuk mencegah terulangnya masalah.
Rencana tindakan :
a.
Kaji patologi masalah individu.
Rasional : Informasi
menurunkan takut karena ketidaktahuan. Memberikan pengetahuan dasar untuk
pemahaman kondisi dinamik dan pentingnya intervensi terapeutik.
b.
Identifikasi kemungkinan kambuh atau komplikasi jangka panjang.
Rasional : Penyakit paru
yang ada seperti PPOM berat, penyakit paru infeksi dan keganasan dapat
meningkatkan insiden kambuh.
c.
Kaji ulang tanda atau gejala yang memerlukan evaluasi medik cepat
(contoh, nyeri dada tiba-tiba, dispena, distress pernafasan).
Rasional : Berulangnya
effusi pleura memerlukan intervensi medik untuk mencegah, menurunkan potensial
komplikasi.
d.
Kaji ulang praktik kesehatan yang baik (contoh, nutrisi baik, istirahat,
latihan).
Rasional : Mempertahankan
kesehatan umum meningkatkan penyembuhan dan dapat mencegah kekambuhan.
4.
Pelaksanaan
Implementasi merupakan
pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat terhadap pasien. Ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan rencana keperawatan diantaranya : Intervensi
dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi ; keterampilan
interpersonal, teknikal dan intelektual dilakukan dengan cermat dan efisien
pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologis klien dilindungi serta
dokumentasi intervensi dan respon pasien.
Pada tahap implementasi
ini merupakan aplikasi secara kongkrit dari rencana intervensi yang telah
dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan dan perawatan yang muncul pada pasien
(Budianna Keliat, 1994,4).
5.
Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah
terakhir dalam proses keperawatan, dimana evaluasi adalah kegiatan yang
dilakukan secara terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat dan anggota
tim kesehatan lainnya.
Tujuan dari evaluasi ini
adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana keperawatan tercapai dengan
baik atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang (US. Midar H, dkk, 1989).
Kriteria dalam menentukan
tercapainya suatu tujuan, pasien :
a.
Mampu mempertahankan fungsi paru secara normal.
b.
Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
c.
Tidak terjadi gangguan pola tidur dan kebutuhan istirahat terpenuhi.
d.
Dapat memenuhi kebutuhan perawatan diri sehari-hari untuk mengembalikan
aktivitas seperti biasanya.
e.
Menunjukkan pengetahuan dan gejala-gejala gangguan pernafasan seperti
sesak nafas, nyeri dada sehingga dapat melaporkan segera ke dokter atau perawat
yang merawatnya.
f.
Mampu menerima keadaan sehingga tidak terjadi kecemasan.
g.
Menunjukkan pengetahuan tentang tindakan pencegahan yang berhubungan
dengan penatalaksanaan kesehatan, meliputi kebiasaan yang tidak menguntungkan
bagi kesehatan seperti merokok, minum minuman beralkohol dan pasien juga
menunjukkan pengetahuan tentang kondisi penyakitnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Efusi pleural adalah
adanya sejumlah besar cairan yang abnormal dalam ruang antara pleural viseralis
dan parietalis. Bergantung pada cairan tersebut, efusi dapat berupa
transudat(Gagal jantung, sirosis hepatis dan ascites) atau eksudat (infeksi dan
neoplasma) ; 2 jenis ini penyebab dan strategi tata laksana yang berbeda. Efusi
pleura yang disebabkan oleh infeksi paru disebut infeksi infeksi parapneumonik.
Penyebab efusi pleura yang sering terjadi di negara maju adalah CHF, keganasan,
pneumonia bakterialis, dan emboli paru. Di Negara berkembang, penyebab paling
sering adalah tuberculosis.
Pasien dapat datang
dengan berbagai keluhan, termasuk nafas pendek, nyeri dada, atau nyeri bahu.
Pemeriksaan fisik dapat normal pada seorang pasien dengan efusi kecil. Efusi
yang lebih besar dapat menyebabkan penurunan bunyi nafas, pekak pada perfusi,
atau friction rub pleura.
B.
Saran
Efusi pleura merupakan
penyakit komplikasi yang sering muncul pada penderita penyakit paru primer,
dengan demikian segera tangani penyakit primer paru agar efusi yang terjadi
tidak terlalu lama menginfeksi pleura.
DAFTAR PUSTAKA
Al sagaff H dan Mukti. A, Dasar – Dasar Ilmu Penyakit Paru, Airlangga University Press, Surabaya ; 1995
Carpenito, Lynda Juall, Diagnosa keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik Edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran EGC,;1995
Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi keperawatan Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 1995
Engram, Barbara, Rencana
Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume I, Penerbit Buku Kedokteran EGC ;
1999
Ganong F.
William, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran
Edisi 17, Jakarta EGC ; 1998
Gibson, John, MD, Anatomi
Dan Fisiologi Modern Untuk Perawat, Jakarta EGC ; 1995
Keliat, Budi
Anna. Proses Keperawatan, Arcan
Jakarta ; 1991
Laboratorium Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR, Dasar – Dasar Diagnostik Fisik Paru,
Surabaya; 1994
Lismidar,proses
keperawatan H,dkk, Proses keperawatan,
AUP, 1990
Marrilyn. E. Doengus, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3 Jakarta EGC ; 1999
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo, Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/UPF Ilmu Penyakit Paru, Airlangga
University Press; 1994
B.AC,Syaifudin, Anatomi dan
fisiologi untuk perawat, EGC; 1992
Soeparman A.
Sarwono Waspadji, Ilmu Penyakit Dalam
jilid II ; 1990
Susan Martin
Tucker, Standar Perawatan Pasien,
Jakarta EGC ; 1998